Sabtu, 02 Oktober 2010

Perlunya memperhatikan Pendidikan di Indonesia

Masalah pendidikan ga akan ada abisnya buat kita debatin. Masing-masing kepala punya pemikiran sendiri tentang hal ini. Kalau saya perhatiin dari tivi-tivi, timbul pertanyaan di benak saya, Sebenernya Pendidikan di indonesia nii udah cukup memenuhi standar kelayakan dan kebutuhan seluruh rakyat indonesia belum siih?? Jangan cuma kita sok-sok ninggiin standar tapi basicnya lemah. Sarana dan prasarananya kurang mendukung. atau pendidikan yg ga merata ke seluruh masyarakat di indonesia. Bahkan yg paling mengenaskan tapi banyak fakta yg menjadi ciri khas indonesia "money is #1". Uang bisa menghalalkan segala cara, klo ga ada uang, seolah kita ga layak dapet yg terbaik. semua aspek kayanya memegang prinsip ini. Ga cuma masalah pendidikan dan kesehatan. yaahhh klasik, tapi realita. Ampe ada buku "Orang Miskin Dilarang Sekolah!"  yang ditulis oleh Eko Prasetyo bekerjasama tergolong di dalam buku Seri Dilarang Miskin ini yang bertujuan untuk memprovokasi pembaca agar lebih kritis kembali dalam menyikapi permasalahan dalam bidang pendidikan.

Sebenernya kita warga indonesia malu bangett sm negara tetangga kita yg sampe sekarang makin panas aja berantemnya, saingannya. Yang satu gamau kalah sama yg banyak sumber dayanya baik dari aspek alam dan manusianya mencuri diam-diam *secara halus ke negara yg menganggap remeh potensi yg dimiliki ampe bisa dicuri, diakuin, disemena-menain kaya ulah Malaysia ke Indonesia. faktanya mental orang indonesia emang mental dijajah. Mental yg tanpa kita sadari diturunin sama nenek kakek kita yg pernah dijajah ratusan tahun.


 
Kita urai dehh satu persatu masalah yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia

1. Kurikulum

Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya.

Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang rendah terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini.

2. Biaya

Akhir-akhir ini biaya pendidikan makin mahal, kaya' mengalami kenaikan BBM. Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan.

Sekarang ini memang digalakan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan Bos. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana?? Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Padahal mereka sebagai WNI berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Akhir-akhir ini pemerintah dalam system pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu. Hal ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebijakan ini sama saja dengan mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita bila kita terus diam dan pasrah menerima keputusan Pemerintah?? Ironis banget kann klo kebijakan ini benar-benar terjadi.

3. Tujuan pendidikan

Katanya sih pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Bagaiamana tidak? Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat). Bukankah ini memalukan?? Berarti kalau  kita punya uang maka kita tidak usah sekolah tapi sama dengan yang sekolah karena memiliki ijasah. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.


4. Kontoversi diselenggaraknnya UN

Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
-Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
-Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.

-Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.

-Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN..
korupsi lagi,.korupsi lagi,.,.ckckckck mental indonesia.

5. Kerusakan fasilitas sekolah

Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen.

Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.

Menurut saya, kerusakan bangunan pendidikan jelas akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak gimana mau ngrasa nyaman belajar pada kondisi ruanagan yang hampir roboh. yg ada stress takut kerobohan bangunan yg udah tua.

paraahh kaaann,.,.
klo mu banyak dikulik ni masalah pendidikan, sehariaaann juga ga ga cukup.
yaahh mudah-mudahan sii pemaparan ini bisa buat kita berpikir gimana siihh kita menanggulangi masalah-masalah yg terjadi di indonesia ini. terlebih kita sebagai warga yg mengaku punya jiwa nasionalis terhadap negara, jangan cuma protes sama perlakuan malaysia atau negara lain terhadap bangsa kita, tapi kita juga punya masalah intern yg HARUS ditanggulangi dan diupayakan. Karena masalah ga akan pernah selesai, tapi kita upayakan sedemikian rupa biar ga jadi bencana.
segini ajj upaya protes hasil dari lamunan depan tivi.

Sumber:

http://www.geramtolakbhp.blogspot.com/Potret Dunia Pendidikan Indonesia

http://mybluegreen.net/serbaneka/potret-dunia-pendidikan-indonesia/

http://beritasore.com/2007/07/03/uu-bhp-tidak-mengarah-privatisasi-perguruan-tinggi/

0 comments:

Posting Komentar